Halaman

Selasa, 28 September 2010

Reaktulisasi Kitab Kuning

Sejalan dengan maraknya modernisasi, penistaan kitab kuning semakin menjadi-jadi; dikatakan sebagai tidak sistematis, kuno, kolot. Bahkan ada yang berusaha mendegradasi kitab kuning melalui survei gegabah yang dilakukan IAIN Jakarta bahwa kitab kuning menjadi sumber teroris. Gencarnya propaganda modernisasi itu tidak membuat kalanagan NU dan pesantren sendiri mulai menafikan kitab kuning, yang merupakan khazanah intelaktual mereka sendiri yang tak tertandingi.

Hadirnya situs kitab kuning yang dikelola oleh PCI NU Jepang itu memberikan nuansa baru bagi para pembaca kitab kuning. Kitab kuning mamasuki dunia cyber, yang merupakan dunia ultra modern. Dengan demikian berbagai kitab yang disajikan mulai dari Ulumul Qur’an, ilmu tafsir, musthalah hadists, fikih, tasawuf bisa dibuka siapa saja bahakan bisa dibedol (down load ) secara gratis. Kemudahan yang diberikan situs ini, sebab seseorang yang ingin membaca kitab tertentu tinggal membuka situs ini, tidak harus memunjam di perpustakaan, dipesantren atau pada kiai tertentu.

Walaupun dikatakan nusang tetapi kitab kuning sangat penting, sesuai dengan perkembanagn ilmu pengetahuan yang bersifat histories, maka kitab kuning itu merupakan perkembangan histories dari ilmu pengetahuan, yang merupakan bentuk interpretasi, kontekstualisasi ajaran Islam yang termaktub dalam Al Quran dan Sunnah, yang dilakukan oleh ulama sepanjang abad dan di seluruh belahan dunia Islam. Karena itu dalam ukuran NU seseorang tidak mungkin mendapat gelar ulama atau kiai tanpa menguasai kitab dasar tersebut yang serintg disebut kutubul muktabarah (kitab yang otoritatif), buku wajib bagi santri dan ulama pesantren.

Memang beberapa tahun lalu muncul gugatan terhadap status kemuktabarahan kitab kuning, karana dianggap menutup akses terhadap kitab modern. Itu tidak benar, kitab kuning merupakan kitab pokok yang harus dikuasasi, baru setelah itu boleh menguasai kitab putih sebagai kitab anjuran. Kalau dikampus boleh menetapkan buku wajib dan buku penunjang, kenapa dalam khazanah pesantren tidak boleh membuat kategori tersebut. Kalanagan pesantren memiliki pengetahuan lebih komprehensif tentang agama, karena mereka mengetahui perkembangan ajaran agama. Bagi mereka yang tidak mengetahui perkembangan tersebut cenderung cupet pemikiran dan fanatik.

Pengabaian ktab kuning memang bisa berakibat tragis, ketika masih banyak ulama pesantren, maka gerakan Islam modernis masih melahirkan ulama, maka ketika kelompok Islam itu benar-benar membuang kitab kuning maka kelompok itu tidak memiliki ulama, sehingga pengetahuannya tentang agama menjadi sangat dangkal. Bahkan hampir tidak bisa dikatakan sebagai ornganisasi Islam karena organisasi tanpa dipimpin rohaniawan, akhirnya menjadi organisasi sosial biasa.

Namun demikian sajian dalam situs itu masih perlu terus diperluas, dalam situs itu misalnya belum menyajikan kitab-kitab bidang ushuluddin dan filsafat. Kitab-kitab babon Imam Al Asy’ari seperti Al Ibanah, Al Luma, juga Maqalatul Islamiyin mesti dimasukkan, juga karya Asyariyah yang lain seperti Al Farqu Bainal Firaq maupun Kitab tauhidnya Al Mathuridi, termasuk karya Imam Hanafi Fiqhul Akbar, juga karya perbandingan agama Al Milal Wannihal karya Syahrastani dan sebagainya. Selain itu situs itu juga hanya menyajikan kitab yang dikarang oleh ulama Timur Tengah, sementara kalangan ulama Jawi (Nusantara) belum dimasukkan, seperti kitab Sabilul Muhtadin karya Syek Irsyad Al Banjari, Sirajut Tholobin dan Manahijul Imdad karya Kiai Ihsan Kediri dan Hidayatussalikin karya Syekh Abdushomad Al Palimbangi, juga karya-karya Syekh Nawawi Al Bantani.

Begitu pula disiplin ilmu faraid, ilmu falak termasuk ilmu kedokteran. Para ulama kita juga mendalami bidang tersebut, termasuk bidang sastra dan bahasa. Semua khazanah itu perlu diperkenalkan bertahap secara utuh.

Sajian tersebut juga bisa dilanjutkan pada kaitab ulama yang datang kemudian, seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Bisri Mustofa juga beberapa ulama di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Kitab tersebut merupakan kitab yang hidup dalam arti terus dikaji dan dijadikan pedoman dalam beragama oleh masyarakat. Kitab tersebut tidak hanya memberikan kedalaman dalam beragam, tetapi juga memberikan keluasan dalam memandang kehidupan dan ketinggian moral.

Melihat kenyataan itu tidak benar kalau dikatan bahwa pemikiran Islam tradisional mengalami kemandekan bila diukur dari perkembangan masyarakat Islam sendiri. Tetapi kalau ditakar dengan model pencerahan barat yang liberal, tentu pemikiran pesantren dianggap mengalami kemunduran, propaganda itu yang harus ditepis. Dan kawan-kawan NU di Jepang telah melakukan penepisan itu dengan menempatkan kitab kuning dalam wacana ilmu pengetahuan kontemporer, yanga kalau diuji secara materi belum tentu kalah bermutu dengan pemikiran modern.

Memang kita mesti belajar pada bangsa-bangsa di timur dalam mengembangkan kebudayaan, seperti Cina, India termasuk Jepang mereka menerima modernitas tetapi tidak membuang tradisi, justeru dengan berbasis tradisi itu modernitas yang dtan

0 komentar:

Posting Komentar