Halaman

Selasa, 28 September 2010

Menimbang Arti Keshalehan Menurut Islam

Akhir-akhir ini sering kita mendengar dari kalangan kaum Muslim, sementara orang yang mempersoalkan secara dikotomis tentang kesalehan. Seolah-olah dalam Islam memang ada dua macam kesalehan: “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”.

Dengan “kesalehan ritual” mereka menunjuk perilaku kelompok orang yang hanya mementingkan ibadat mahdlah, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Kelompok yang sangat tekun melakukan sholat, puasa, dan seterusnya; namun tidak peduli akan keadaan sekelilingnya. Dengan ungkapan lain, hanya mementingkan hablum minallah.

Sedangkan yang mereka maksud dengan “kesalehan sosial” adalah perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Suka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya; meskipun orang-orang ini tidak setekun kelompok pertama dalam melakukan ibadat seperti sembayang dan sebagainya itu. Lebih mementingkan hablun minan naas.

Boleh jadi hal itu memang bermula dari fenomena kehidupan beragama kaum Muslim itu sendiri, dimana memang sering kita jumpai sekelompok orang yang tekun beribadat, bahkan berkali-kali haji misalnya, namun kelihatan sangat bebal terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat saudara-saudaranya yang lemah tertindas, misalnya. Seolah-olah Islam hanya mengajarkan orang untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya menjadi hak Allah belaka. Sebaliknya juga, sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan “ibadat pribadinya”.

Padahal semuanya tahu tentang hablun minallah dan hablun minannas. Semuanya membaca ayat, “Udkhuluu fis silmi kaffah !” tahu bahwa kesalehan dalam Islam secara total !” Masak mereka ini tidak tahu bahwa kesalehan Islam pun mesti komplit, meliputi kedua kesalehan itu.

Dan bagi mereka yang memperhatikan bagaimana Nabi Muhammad saw. Berpuasa,dan saat beliau memberi petunjuk bagaimana seharusnya orang melaksanakan puasa yang baik, niscaya tak akan ragu-ragu lagi akan ajaran yang memperlihatkan kedua aspek tersebut sekaligus. Dengan kata lain, takwa yang menjadi sasaran puasa kaum Muslim, sebenarnya berarti kesalehan total yang mencakup “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”. Kecenderungan perhatian sesorang terhadap salah satunya, tidak boleh mengabaikan orang lain.

* KH Mustofa Bisri (Gus Mus) adalah Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin dan salah satu Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

0 komentar:

Posting Komentar