Halaman

Selasa, 28 September 2010

Menimbang Arti Keshalehan Menurut Islam

Akhir-akhir ini sering kita mendengar dari kalangan kaum Muslim, sementara orang yang mempersoalkan secara dikotomis tentang kesalehan. Seolah-olah dalam Islam memang ada dua macam kesalehan: “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”.

Dengan “kesalehan ritual” mereka menunjuk perilaku kelompok orang yang hanya mementingkan ibadat mahdlah, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Kelompok yang sangat tekun melakukan sholat, puasa, dan seterusnya; namun tidak peduli akan keadaan sekelilingnya. Dengan ungkapan lain, hanya mementingkan hablum minallah.

Sedangkan yang mereka maksud dengan “kesalehan sosial” adalah perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Suka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya; meskipun orang-orang ini tidak setekun kelompok pertama dalam melakukan ibadat seperti sembayang dan sebagainya itu. Lebih mementingkan hablun minan naas.

Boleh jadi hal itu memang bermula dari fenomena kehidupan beragama kaum Muslim itu sendiri, dimana memang sering kita jumpai sekelompok orang yang tekun beribadat, bahkan berkali-kali haji misalnya, namun kelihatan sangat bebal terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat saudara-saudaranya yang lemah tertindas, misalnya. Seolah-olah Islam hanya mengajarkan orang untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya menjadi hak Allah belaka. Sebaliknya juga, sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan “ibadat pribadinya”.

Padahal semuanya tahu tentang hablun minallah dan hablun minannas. Semuanya membaca ayat, “Udkhuluu fis silmi kaffah !” tahu bahwa kesalehan dalam Islam secara total !” Masak mereka ini tidak tahu bahwa kesalehan Islam pun mesti komplit, meliputi kedua kesalehan itu.

Dan bagi mereka yang memperhatikan bagaimana Nabi Muhammad saw. Berpuasa,dan saat beliau memberi petunjuk bagaimana seharusnya orang melaksanakan puasa yang baik, niscaya tak akan ragu-ragu lagi akan ajaran yang memperlihatkan kedua aspek tersebut sekaligus. Dengan kata lain, takwa yang menjadi sasaran puasa kaum Muslim, sebenarnya berarti kesalehan total yang mencakup “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”. Kecenderungan perhatian sesorang terhadap salah satunya, tidak boleh mengabaikan orang lain.

* KH Mustofa Bisri (Gus Mus) adalah Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin dan salah satu Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

Pesantren Dulu, Kini Dan Nanti

Ada hal penting yang perlu dikaji secara serius dari acara Silaturahmi Alim Ulama di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Semarang, 11 Pebruari 2007 lalu. Yang terdengar dalam lesehan para ulama itu hanya sebatas saling tuding dan menyalahkan antara satu dengan yang lainnya. Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gus Mus dan Habib Lutfi, juga yang lainnya hanya saling menjual gengsi masing-masing. Tidak ada yang memberi jawaban apa yang menjadi penyebab tidak maju dan bermutunya banyak pesantren akhir-akhir ini? Berikut adalah wacana yang dapat kami potret dari perjalanan pendidikan kami.

Kalau kita mau jujur dengan fakta yang ada di lapangan memang sistim dan mutu pendidikan di Pesantren-pesantren telah mengalami kemunduran yang drastis bila dibandingkan dengan pesantren tempo dulu. Kami yakin faktor internal sebagai penyebab utamanya.

Pesantren tempo dulu

Barangkali yang menjadi ciri khas posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sekaligus sebagai benteng aqidah masyarakat dan diakui oleh sejarah kesuksesannya adalah keikhlasan kyai, ketekunan para santri dalam belajar dan riyadoh lahir dan batin, jauh dari persoalan subhat apalagi haram. Sementara yang lainnya mungkin tetap sama.

Keikhlasan kyai dalam mengajar dan membina santri tidak pernah dan tidak akan terbayarkan dengan harapan nilai materi dan duniawi. Keikhlasan yang total menjalankan perintah Allah mengajar dan mengajak masyarakat kepada Islam. Keikhlasan yang tak pernah terpotretkan dengan kepopuleran, mereka lebih memilih diam dalam surau dan kezuhudan yang sepi dan senyap dari gejolak politik dan gemerlap sosial dan duniawi yang kadang bisa merusak keikhlasan dan mengantarkan kepada riya dan sum’ah (kepopuleran). Walaupun sistim pengajian ala kadarnya, mengajar sambil mengantuk sehingga kitab setebal “alaihim” bisa hatam dalam waktu satu bulan, luar biasa itu. Tapi anehnya menjadi alim dan saleh seperti gurunya, mberkahi betul. Bandingkan dengan sekarang.

Dengan keikhlasannya pula beliau-beliau tidak pernah berpikir tentang gedung, sarana dan prasarana, SPP atau yang lainnya yang ada dalam hatinya bagaimana santrinya mau dan bisa belajar dengan baik sekalipun di atas bancik, hal itu tidak membuatnya malu atau gengsi, apalagi berpikir untuk membuat proposal seperti kyai zaman sekarang.

Keikhlasan, kealiman, istiqomah dan tawadu’ (rendah diri) dan ketelatenan sang kyai adalah modal utama yang dapat memproduk santri yang allamah dan berakhlak mulia sekaligus sebagai bendera kesuksesan pesantren dalam mencetak ulama, zu’ama dan fuqoha. Di samping itu ketekunan santri dalam belajar, menjauhi maksiat dan meninggalkan segala larangan dan kewira’ian orang tua dalam memberi nafkah kepada anaknya sangat dijunjung.

Dengan bermodalkan itu semua rata-rata santri dulu dari satu pesantren pulang ke kampung halaman langsung menjadi kyai atau minimal jadi ustad yang mumpuni dan diakui masyarakat, tanpa mengikuti pendidikan selanjutnya.

Sayangnya pesantren yang seperti itu (salaf produktif) kini jumlahnya sangat terbatas atau hanya sekitar 10% dari total 14.798 pesantren dengan jumlah santri 2.057-814 sesuai data departemen kesehatan ketika membagikan bantuan dana kesehatan Pondok pesantren pada tahun 2006. (NU.Online tanggal 8 september 2006). Lalu sisanya menurut hemat kami hampir berubah menjadi “rumah kos” santri yang diberi pengajian setelah cape belajar Matematika, IPA, IPS dan PPKN yang hukumnya berubah menjadi “fardu ‘ain” setelah sebelumnya “haram” hukumnya. Tapi kalau prakteknya sebaliknya mungkin lebih baik. Dan tradisi itu telah “dihalalkan” oleh kebanyakan kyai dengan dalih tuntutan zaman dan modernisasi pendidikan dan yang lebih parah lagi karena tuntutan untuk melanjutkan ke luar negeri? Terlalu rendah visi lembaga itu.

Di antara pesantren salaf yang masih mampu dan bertahan memegang peran para pendahulunya adalah Pesantren Lirboyo dan Ploso Kediri jawa Timur keduanya masih tetap diakui masyarakat sebagai lembaga yang berhasil mencetak ulama, fuqoha yang siap terjun ke masyarakat tanpa mengikuti pendidikan selanjutnya di luar Pesantren, berbeda dengan yang lain?

Pesantren sekarang

Tidak bisa dipungkiri akan posisi dan peran pesantren dalam membangun dan mengisi pembangunan Indonesia sampai detik ini dan murtadlah orang yang mengingkari kenyataan itu. Karena sejak dulu Kyai Pesantren, Ulama dan para santri juga kaum tarekat adalah ujung tombak dalam merebut dan mengisi kemerdekaan dari tangan penjajah. Seperti peran Kyai Soleh Darat melawan Belanda, Pemberontakan Tarekat Sadziliyah di Banten pada tahun 1888M yang dikenal dengan revolusi Petani dan para pendiri NU hampir semuannya terlibat dalam perang merebut dan mengisi kemerdekaan. Dan secara de facto bahwa Pesantren saat inilah adalah benteng moral dan aqidah masyarakat yang tak bisa tergantikan. Tapi sekarang semua pesantren kelihatannya tidak lagi mampu memberikan banyak harapan masyarakat dan orang tua dan wali santri, karena banyak pesantren yang sudah berubah menjadi lembaga pendidikan formal/negeri dan mengesampingkan formalitas pesantren yang sesungguhnya.

Ada beberapa hal yang menyebabkan menurunnya mutu Pesantren dan ada beberapa wacana dan indikasi yang kelihatannya sangat mendorong banyak Kyai melakukan reformasi pendidikan Pesantren dari salaf/tradisional ke semi modern atau modern yang terkadang kebablasan sehingga mengakibatkan tidak jelasnya sistim pendidikannya, ala kadarnya:

Pertama, wacana formalisasi Ijazah pesantren dengan dalih kondisi dan tuntutan zaman yang mengahruskan ijazah negeri bagi setiap sektor kemasyarakatan dan kenegaraan. Hal inilah yang kemudian mendorong para kyai rameh-rameh “gagah-gagahan” bangunan dan sistim pendidikan formal dengan segala formalitasnya untuk menarik santri baru yang terkadang menjerumuskannya kepada hal yang menghilangkan kewira’ian yang pernah dipegang teguh para pendahulunya. Hingga sampailah kepada lobi-lobi proposal dana bangunan yang sering terkesan monopoli dan dimenangkan oleh satu yayasan karena kuatnya lobi.

Kedua, banyak pesantren yang misi utamanya hanya memberikan kesempatan kepada lulusannya untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri di dalam dan luar negeri. Ini jelas merupakan “pembodohan” masyarakat yang sistimatis. Karena itu satu bukti bahwa lembaga itu tidak mampu mendidik santrinya menjadi lulusan yang berkualitas. Pesantren model inilah yang sekarang laris manis.

Ketiga, perbedaan kekyaian yang dimiliki Kyai sekarang sangat jauh berbeda dengan kyai pesantren tempo dulu. Kalau dulu Kyai seneng puasa, riyadloh dan tirakat untuk diri dan santrinya, kini sifat-sifat tulus dan karomah seperti itu sangat jarang kita temukan. Justru yang menjadi wacana adalah kampanye partai, calon gubernur, bupati dan caleg serta perseteruan dan perebutan posisi di dalam dan luar Pesantren. Ini jelas-jelas merusak nilai lahir dan batin Pesantren yang mengakibatkan tidak “mberkahinya” kyai kepada santri. Walaupun itu adalah buah perputaran waktu tapi semuanya tetap memberikan dampak negative bagi pribadi dan Pesantren dalam penilaian masyarakat yang harus kita jaga.

Bahkan sekarang banyak kyai yang lupa dengan jadwal pengajiannya karena sibuk mengikuti kampanye, orasi caleg dan undangan pengajian. Sementara santri tetap setia di tempat belajarnya tanpa ada yang mulang (ngajar). Keterlibatan Kyai dalam gerakan politik dan sejenisnya telah mengahancurkan nilai, mutu dan citra pesantren. Itulah realitas banyak Pesantren saat ini berubah menjadi kos-kosan santri, bukan pondok ngaji. Bahkan ada seorang pengasuh Pesantren yang selalu “ngelencer” keluar negeri, tidak pernah mulang santrinya. Lho ko seperti tidak terima dikatakan Pesantrenya tidak bermutu, bagaimana bisa melahirkan ulama, kyai atau ustad yang mumpuni? Tapi ia bangga merasa menjadi Kiayi yang paling sibuk.

Pesantren model seperti ini banyak sekali bahkan hampir semuanya terutama Pesantren Kecil diantaranya yang paling parah mengalami perubahan seribu derajat adalah Pesantren Bahrul Ulum dan Darul Ulum Jombang Jawa Timur dan yang lainnya termasuk Tebuireng. Keduanya dalam masa pendirinya termasuk Pesantren yang berhasil mencetak ulama dan fuqoha Nasional, tapi kini tidak lagi. Karena kemunduran dan perubahan status bukan? Disamping peran Kyai yang “kurang telaten” ngopeni santri karena sibuk diluar sehingga tidak melahirkan karomah.

Belajar lagi

Benar pesantren adalah model pendidikan tertua di Indonesia bahkan di dunia. Tapi dalam ajaran ahlak pesantren diajarkan bahwa orang yang tua pun kalau tidak bisa harus belajar dari yang bisa walaupun dari yang lebih muda usianya. Untuk itulah ketertinggalan sistim pendidikan dan menejemen pesantren saat ini oleh lembaga lainnya perlu segera kita benahi dengan cara ikuti “ngesahi” dari pendidikan lainnya. Kalau ada yang mengatakan bahwa Pesantren saat ini tidak perlu belajar dari Muhammadiyah (seperti yang dikatakan oleh Menteri Agama) atau lainnya adalah merupakan sikap “takabbur” yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pesantren dan sikap seperti itu jelas merupakan satu bukti “kemunduran” kekyaian Pesantren itu sendiri.

Kami sangat setuju dengan pendapat Menteri Agama bahwa pola pendidikan keagamaan Pesantren, bukan silabinya, saat ini harus mau belajar dari Muahamadiyah dan yang lain yang sudah sukses membangun menejemen pendidikan yang dapat memluluskan sarjana yang berkualitas dan diakui masyarakat dalam ilmu-ilmu praktis. Kami sebagai warga Pesantren/NU yang lahir dan besar dalam keluarga NU belum bisa merasa bangga menjadi anggota NU sekalipun kami sangat bangga dengan NU, karena kami belum menemukan kemampuan orang-orang NU dalam membangun pendidikannya tingkat MI sekalipun apalagi universitas. Karena itulah, kami adalah pesantren/NU dalam beragama tapi Muhammadiyah dalam “madzhab” pendidikan dan pemikiran sosial dan pengembangan ekonomi masyarakat.

Untuk itulah kalau Pesantren yang modern atau semi modern jika ingin maju dan bermutu kita masih perlu belajar dari lembaga-lembaga lain yang telah terbukti kualitasnya karena kesuksesan menejemennya. Sementara yang salaf pertahankan kesalafannya karena sekarang sudah mulai ada kesetaraan ijazah pesantren dengan ijazah negeri seperti Pesantren Lirboyo dan Sidogiri. Kalau begitu kenapa mesti kita berganti baju?

Pesantren di Masa yang Akan Datang

Berangkat dari kenyataan dari ribuan Pesantren yang ada seperti kami sampaikan di atas jelas pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi persaingan bisnis pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan yang kami maksud hanya sebatas menejemen bukan corak apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu’asyir (moderen) karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif Pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya ora iso ngaji karena ngajinya setelah belajar PPKN. Berbeda kalau dibalik. Sehingga jangan heran kalau sekarang ketua dan pengurus NU tidak bisa paham kitab gundul.

Memenuhi kesetaraan ijazah atau membekali santri dengan ijazah negeri sangat diperlukan di masa yang akan datang tapi prakteknya tidak boleh kebablasan dengan memformalkan sekolah umumnya dan meninggalkan pendidikan formal pesantrennya. Dapat kita hitung dari sekian ribu Pesantren hanya berapa saja yang memiliki sekolah formal Pesantren dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah Pesantren sampai perguruan Tinggi, sangat sedikit sekali. Format seperti itu jelas akan menghilangkan hakekat dan nilai Pesantren yang telah dirintis dan bangun serta dilestarikan oleh para pendahulu kita.

Maka, idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya. Pertahankan pendidikan formal Pesantren khusus kitab kuning dari Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra seperti kursus computer, bahasa inggris, skill lainnya dan program paket A, B dan C untuk mendapatkan Ijazah formalnya atau dengan menjalin kerjasama dengan sekolah lain untuk mengikuti persamaan. Jika hal ini terjadi akan lahirlah ustad-ustad, ulama dan fuqoho yang mumpuni, bukan ustad televisi, tanpa harus mengikuti belajar ke luar negeri dan dalam negeri.

Ke depan pesantren tidak cukup dikendalikan dengan menejemen keikhlasan seorang Kyai seperti yang terjadi pada ulama dan Kyai tempo dulu. Kalau dulu hal itu memungkinkan karena keikhlasan itu telah mampu melahirkan energi ruhiah secara instan berupa kepahaman santri (laduni), manfaatnya ilmu, karomah dan sebagainya. Tapi sekarang telah berubah keadaan banyak sisi dan persoalan yang harus dimenej dengan profesional mulai dari uang SPP, bangunan, gaji, catering santri dan lain sebagainya. Dan hal yang seperti ini kurang diperhatikan oleh banyak Pesantren padahal itu modal utama pengembangan ekonomi Pesantren itulah yang kita lihat di Pesantren Sidogiri, akhirnya banyak pesantren hidupnya mengandalakn proposal.

Akhirnya kemauan untuk berubah, menata dengan belajar dari kesuksesan yang lain, tidak ekseklusif, dan memenuhi kebutuhan masyarakat dengan tetap mempertahankan tradisi salaf dengan berbagai aspeknya lahir dan batin adalah tuntutan yang harus dipenuhi oleh Pesantren jika tidak ingin ditinggalkan masyarakat karena dikatakan tertinggal. Dan kemampuan pesantren untuk berdiri sendiri dan mencetak santrinya menjadi ulama, fuqoha dan ustad yang siap terjun dimasyarakat adalah bukti keberhasilan pesantren itu bukan dengan diterimanya santri kuliah di luar negeri dan dalam negeri dan mengandalkan bantuan pihak lain. Wallahu a’lam.

* Mahasiswa Maroko, alumni Pesantren Lirboyo dan guru di Pesantren Al hikmah 2 Benda Sirampog Brebes

Problematika Pesantren Salaf Masa Kini

Sangat bisa diterima sinyalemen bahwa pesantren adalah lembaga tertua di Nusantara, tapi masih sangat relevan untuk dipertahankan eksistensinya. Tetapi, situasi yang terus berkembang, maka tidak bisa tidak pesantren perlu modifikasi agar terus bisa dilihat manfaatnya untuk umat.

Pada masa lampau, jelas sekali peran pesantren dalam membentuk budaya bangsa, sehingga para alumninya sangat dirasakan manfaatnya di lingkungannya masing-masing, baik di tingkat lokal, regional bahkan nasional dan internasional.

Ilmu yang ditimba para alumni pesantren dari almamater pesantrennya masing-masing sangat cukup untuk bekal hidup bermasyarakat dan berjuang. Ini tentu ditunjang lebih tekunnya santri tempo dulu dan berkah para gurunya yang keikhlasan dan kedalaman ilmunya sangat mumpuni.

Suatu hal yang menakjubkan, bahwa umat Islam Nusantara yang terjajah selama 3,5 abad dan selalu kalah dalam pertikaian politik serta kekuasaan, tapi masih bisa mengembangkan dakwah Islamiyah-nya sehingga sensus penduduk menjadi mayoritas muslim dan transaksi dalam kehidupan masyarakat, baik ekonomi atau nonekonomi, juga sangat dipengaruhi teori fikih Islami. Ini tidak lepas dari perjuangan pesantren yang bertebaran di pelosok Tanah Air.

Kelompok santri memang kalah dalam perebutan kekuasaan dan politik, tapi masih berjaya dalam budaya. Konon, disebutkan bahwa ketika kolonial datang di Nusantara, penduduk muslim masih 20 persen. Tetapi, justru ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, umat Islam meningkat menjadi 95 persen. Ironisnya justru ketika kita sudah merdeka, umat Islam menerima tekanan-tekanan dari budaya, ekonomi, juga politik, sehingga populasinya mengalami degradasi. Dari sinilah pesantren harus intropeksi diri sendiri agar misi pendidikan, sosial dan dakwahnya tetap eksis.

Problematika Kurikulum
Kurikulum pesantren salaf yang cenderung berkiblat ke model pendidikan ribath di Hadramaut ini bisa kita maklumi karena para dai pertama di Jawa memang berasal dari sana. Yang mencolok adalah penekanannya dalam bidang fikih yang sudah jadi dan tasawuf serta ilmu alat. Barangkali inilah yang memunculkan predikat pesantren salaf. Kemudian, predikat pesantren salaf didikotomikan dengan pesantren modern. Walaupun pada awalnya dikotomi itu juga rancu. Sebab, ada pesantren yang mengklaim dirinya modern dengan kurikulumnya yang berbeda dengan pesantren salaf, yaitu penekanan pada bahasa Arab/Inggris dan tidak mau fikih. Tetapi, (dulu) tidak mau memasukkan pendidikan formal (sekolah berafiliasi Departemen Pendidikan Nasional/Departemen Agama). Sementara, ada pesantren yang masih mangaku salafiyah, tapi malah sudah mendahului mengadopsi sekolah formal mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi, baik yang berafiliasi ke Depdiknas maupun Depag.

Untuk saat ini, pesantren modern itu bisa dilihat hasilnya dengan menempatkan banyak kader alumninya di panggung karier dan politik tingkat nasional. Hal ini mungkin ditunjang kemampuan komunikasinya yang berbahasa Arab dan Inggris tersebut, walaupun dari sisi ketangguhan dalam bidang fikih belum memadai dibanding alumni pesantren salaf. Ini bisa dilihat dari forum bahsul masail yang nampak didominasi ahumni pesantren salaf yang biasanya lebih lokal.

Bila mendikotomikan kurikulum salaf (bila dipahami sebagai kurikulum agama) dengan kurikulum umum, juga masih ada sisa pertanyaan di sana. Sebab, sebenarnya pelajaran agama itu hanyalah Al-Quran, hadits, akidah, syariah dan pendukungnya. Sementara, nahwu, shorof, balaghoh (sastra Arab), manthiq, 'arudl, falak dan lain-lain, bukan ilmu agama. Sebab, mata pelajaran seperti itu juga diajarkan di sekolah-sekolah umum di Timur Tengah. Tetapi, karena di sini ditulis Arab dan dengan bahasa Arab, maka dianggap pelajaran agama.

Dengan bekal pengetahuan umum yang ditulis Arab itulah barang kali para alumni pesantren salaf dulu sangat bisa berkiprah di lingkungannya. Tetapi, setelah Indonesia ini merdeka dan bahasa Indonesia yang ditulis dengan huruf latin menjadi bahasa resmi negara, ditambah bahasa asing selain bahasa Arab, terutama bahasa Inggris, sangat berpengaruh di lingkungan ilmiah di negara ini. Maka, mau tidak mau, kita rasakan bahwa itu sangat berdampak bagi menyempitnya ruang gerak kiprah alumni pesantren salaf di masyarakat. Apalagi setelah munculnya peraturan pemerintah dan undang-undang, khususnya Undang-undang Dosen dan Guru, sangat memukul bagi kiprah pengabdian alumni pesantren salaf di bidang pendidikan formal.

Barangkali berangkat dari sinilah Depag harus menyiasati dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 untuk menolong kiprah para alumni pesantren salaf agar ruang gerak pengabdiannya di masyarakat lebih leluasa. Intinya, diupayakan agar bagaimana alumni pesantren salaf itu memperoleh penyetaraan dengan sekolah formal dalam dampak masyarakat sipil. Untuk itu, memang diperlukan standar kurikulum nasional di pesantren salaf ditambah beberapa mata pelajaran yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini.

Problematika Kualitas dan Kuantitas Pesantren Salaf
Hal yang sangat memprihatinkan di kalangan pesantren salaf adalah degradasi kualitas pendidikannya. Sebab, kualitas ilmu kiai dan para ustaznya juga banyak yang menurun. Belum sisi lain yang lebih kita kenal sebagai "berkah", juga sangat berkurang karena kadar kualitas keikhlasan kiai dan para ustadznya juga merosot. Apalagi bila pesantren salaf itu berganti ‘kelamin’ menjadi pesantren formal. Secara umum, jelas sekali degradasi kualitas kemampuan kitab kuningnya, bahkan juga sampai ke budaya para santri yang masih menetap di pesantren itu juga ikut berubah.

Inilah tantangan berat bagi pengasuh pesantren salaf, khususnya yang sudah mengalami regenerasi. Turunnya kualitas kiai dan para ustaz akhirnya juga berdampak merosotnya kuantitas santri. Seringkali ada kebijakan jalan pintas untuk mempertahankan eksistensi pesantren tersebut, dengan berganti ‘kelamin’ tadi (dari pesantren salaf ke pesantren formal).

Tetapi, sekarang secara umum sangat dirasakan kemerosotan kuantitas pesantren salaf, juga pesantren formal di mana-mana. Ada yang mencoba melaksanakan penelitian dalam kasus ini. Akhirnya menyimpulkan beberapa penyebab, di antaranya, sebagai berikut:

1. Banyaknya alumni pesantren yang mendirikan pesantren sendiri-sendiri;
2. Tekanan ekonomi bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sementara, animo pesantren yang banyak dari kalangan tersebut;
3. Lembaga pesantren dulu dinilai sebagai lembaga pendidikan termurah. Tetapi, setelah adanya dana Biaya Operasional Sekolah bagi lembaga pendidikan formal, maka pesantren terkesan lebih mahal;
4. Bagi pesantren yang sudah mengalami regenerasi, umumnya kualitas pengasuhnya mengalami kemunduran, baik dari sisi keilmuan maupun keikhlasan;
5. Banyak alumni pesantren masa kini yang kurang kuat terhadap godaan duniawi, sehingga kurang bisa mencerminkan akhlak yang baik yang merupakan target utama produk pesantren;
6. Keterlibatan para kiai dalam panggung politik praktis yang sering kali menimbulkan kesimpulan berbeda dari hasil ijtihad siyasiy mereka. Sehingga menyebabkan sebagian umat ada yang berburuk sangka dan tidak simpati lagi;
7. Dan, memang barang kali sudah menjadi suratan Ilahi sebagaimana yang disabdakan Rasulullah bahwa agama ini “asing” dan akan kembali “asing”.

Penulis adalah Wakil Katib Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Nikah Muda Menurut Kacamata Fiqih Islam

Di antara keistimewaan Islam adalah fleksibelitas, universalitas, rasional, sesuai tempat dan zaman serta mudah diterima khalayak, baik yang berkaitan masalah ibadah, akhlak, muamalat, maupun berkaitan hukum (aturan) perkawinan. Isu nikah muda sering menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat dikarenakan masih adanya asumsi bahwa hal itu dianjurkan agama, didorong serta dicontohkan Nabi Muhamad. Tepatkah asumsi tersebut?

Tulisan singkat ini dimaksudkan tak lain sekedar memberikan kontribusi tentang isu kawin muda (nikah di bawah umur) dalam pandangan agama, dalam kaitan ini fikih Islam. Harapan semoga ajaran Islam yang sudah sangat indah, mudah, memiliki norma-norma kemanusiaan dan terhormat ini tidak diselewengkan dan diterapkan hanya untuk kepentingan pribadi tanpa mengindahkan norma-norma kemanusiaan serta etika-etika umum masyarakat lainnya.

Usia Perkawinan
Istilah dan batasan nikah muda (nikah di bawah umur) dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas, yaitu, orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi perempuan.

Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis.

Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.

Dorongan adanya kesetaraan
Dalam fikih, ada yang disebut kafa’ah (baca kesetaraan). Kafa’ah di sini bukan berarti agama Islam mengakui adanya perbedaan (kasta) dalam masyarakat. Kafa’ah bukan pula suatu keharusan dan sama sekali bukan menjadi syarat dalam akad ikatan perkawinan, namun pertimbangan kafa’ah hanya sebagai anjuran dan dorongan agar perkawinan berjalan dengan keserasian dan saling pengertian antara kedua belah pihak dus demi langgengnya bahtera rumah tangga. Di antaranya, kesetaraan dalam hal ketakwaan, sebaiknya orang yang sangat takwa dan sangat rajin menjalankan ibadah agama, tidak dianjurkan bahkan tidak dibolehkan untuk dinikahkan dengan seorang yang rusak agamanya (sama sekali tidak memikirkan agama).

Juga seorang perempuan intelektual tidak dianjurkan dan tidak cocok nikah dengan suami yang bodoh. Juga masalah umur, tidaklah setara (imbang) antara laki-laki yang berumur 50 tahun dengan gadis berusia 13 tahun (apalagi lebih muda dari umur itu). Ketidaksetaraan seperti ini serta perbedaan yang mencolok antara kedua belah pihak tidak didukung syariat karena dikhawatirkan akan kuatnya timbul benturan-benturan antara kedua belah pihak dikarenakan perbedaan yang sangat mencolok tersebut.

Sedangkan kesetaraan dan persamaan dalam masalah keturunan, ras, kaya-miskin tidaklah menjadi masalah dalam Islam, karena Islam tidak memandang keturunan, suku bangsa serta miskin dan kaya. Miskin bukan merupakan cela (keaiban) dalam pandangan agama, yang cela hanyalah kekayaan yang didapat dari usaha ilegal dan kemiskinan akibat kemalasan.

Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah
Ada yang berdalih bahwa kawin muda merupakan tuntunan Nabi yang patut ditiru. Pendapat ini sama sekali tidak benar karena Nabi tidak permah mendorong dan menganjurkan untuk melakukan pernikahan di bawah umur. Akad pernikahan antara Rasul dengan Sayidah Aisyah yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun tidak bisa dijadikan sandaran dan dasar pegangan usia perkawinan dengan alasan sebagai berikut: Pertama: perkawinan itu merupakan perintah Allah sebagaimana sabda Rasul, ”Saya diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali, Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu”. (HR Bukhari dan Muslim); Kedua: Rasul sendiri sebenarnya tidak berniat berumah tangga kalaulah bukan karena desakan para sahabat lain yang diwakili Sayidah Khawlah binti Hakim yang masih merupakan kerabat Rasul, di mana mereka melihat betapa Rasul setelah wafatnya Sayidah Khadijah, istri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah Islam; Ketiga: Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah keperempuanan yang banyak para kaum perempuan bertanya kepada Nabi melalui Sayidah Aisyah.

Dikarenakan kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah sehingga ia menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman; Kelima: masyarakat Islam (Hejaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda, namun secara fisik maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam masyarakat. Kita tidak memperpanjang masalah perkawinan ideal dan indah antara Rasul dengan Sayidah Aisyah, jadikanlah itu sebagai suatu pengecualian (kekhususan) yang mempunyai hikmah penting dalam sejarah agama.

Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung perkawinan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak perempuannya, dan juga kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa Islam sendiri tidak melarang.

Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi agama menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya, dalam masalah perkawinan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah perkawinan. Yang diminta adalah kematangan kedua pihak dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga tercipta hubungan saling memberi dan menerima, berbagi rasa, saling curhat dan menasihati antara suami-istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan.

Usia perkawinan menurut Undang-Undang
Bab II pasal 7 ayat satu menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Juga tentang Usia Perkawinan Dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 menyebutkan bahwa demi untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya beleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

Dalam UU perkawinan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan UU Indonesia Seperti di Suriah, yang menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria adalah jika telah mencapai 18 tahun dan untuk perempuannya jika sudah berusia 16 tahun (UU Perkawinan Suriah, pasal 16).

Menurut hemat penulis apa yang telah dibuat UU hendaknya mendapat dukungan dari semua pihak, khususnya para dai serta hendaknya dapat menjadi contoh baik dengan mengedepankan hal-hal yang telah menjadi standar dalam syariat dan bukan mencari hal-hal kontroversi yang menjadikan orang-orang menjadi bertanya-tanya bahkan yang lebih parah lagi meragukan kebenaran syariat. Pepatah (kata mutiara) Arab mengatakan “Semoga kerahmatan senantiasa tercurahkan bagi orang berusaha menghindarkan dirinya dari hal-hal yang menjadi cemoohan dalam masyarakat.” Penulis sama sekali tidak mengklaim batal atau tidak sahnya perkawinan usia muda, melainkian hanya menekankankan bahwa Islam tidak mendorong hal tersebut dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan di atas.

Penulis adalah Pengurus Cabang Istimewa NU Damaskus, Suriah

Pesantren Dan Wajah Islam Indonesia

Lembaga pendidikan Pondok Pesantren salah satu dari sekian sistem pendidikan yang ada di Indonesia dengan cirinya yang has dan unik, juga dianggap sebagai sistem pendididkan paling tua di Indonesia yang telah diakui kualitasnya dari segi kemampuannya dalam mencetak kader-kader bangsa yang handal dan mumpuni, baik dalam bidang agama sebagaimana lazimnya atau dalam pentas kepemimpinan nasional, juga dalam bidang kebudayaan dan kazanah intelektual.

Menilik asal muasal keberadaan pesantren di Indonesia, sebagian kalangan ahli mengasumsikan bahwa pesantren adalah pola pendidikan Islam yang di adopsi dari pola pendidikan jaman sebelum kedatangan Islam yang di kenal dengan istilah cantrik yang kemudian diIslamisasi oleh para dai'-dai' Islam di awal kedatangannya.

Menurut pandangan penulis asumsi tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Hal tersebut bila bisa di telusuri lewat komparasi kedua sistem tersebut dimana materi pengajaran dalam cantrik lebih mengedepankan pola pelatihan fisik yang dalam istilah kunanya dinamakan ilmu kanuragan, Sedangkan materi yang diajarkan dalam pesantren pada umumnya lebih bersifat ilmu pengetahuan keagamaan. Komparasi ini memberi gambaran yang tegas adanya perbedaan yang mencolok antara pola pendidikan cantrik dan pola pendididkan pesantren.

Bukti lainnya, dalam dunia Islam, kita bisa menjumpai sistem pendidikan pesantren di berbagai negara Islam sebagaimana di negeri kita; seperti di Yaman dengan Darul Mustofanya, atau di Saudi Arabia dengan Rubatnya ataupun di negeri Syria tempat penulis menimba ilmu yang bertaburan ma'had-ma'had syar'i, juga di negara-negara Islam lainnya. Hal tersebut memupuskan asumsi bahwa pesantren adalah budaya tradisional Indonesia yang mengalami Islamisasi, disisi lain juga membuktikan bahwa pesantren merupakan bagaian dari budaya Islam yang telah mengalami pribumisasi ketika masuk ke Indonesia.

Setelah penelusuran awal timbul pertanyaan; bernarkah pola pendidikan pesantren merupakan bagian dari budaya Islam?

Pengembangan wacana pesantren sebagai bagian dari budaya Islam akan bisa mencapai titik terang bila kita ambil pola-pola dasar pendidikan pesantren. Sebagaimana sudah diadakan penelitian pola dasar pesantren terdiri dari tiga unsur utama yaitu; kiai, santri dan masjid. Ketiga pola dasar tersebut -kalau kita mengupas kembali sejarah penyeberan Islam pertama kali di tanah Arab- adalah metode dakwah marhalah kedua Nabi Muhammad Saw di kota Madinah. Hal tesebut bisa di baca dari aktivitas dakwah beliau dengan memakai masjid sebagai pusat semua aktivitas baik dari segi ubudiyah seperti shalat berjamaah bersama-sama para sahabatnya atau tempat penyampaian kuliyah umum (khotbah Jum'at) di setiap hari Jum'at serta aktivitas-aktivitas lainya yang hampir keseluruhan berada di masjid. Jadi dapat dibuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren adalah bagian dari kebudayaan Islam dan keberadaannya sudah ada semenjak pertama kali Islam diturunkan.

Untuk menelusuri lebih dalam tentang fenomena pola pesantren sebagai bagian dari budaya Islam bisa dikaji lewat sejarah peradaban Islam, dimana hampir semua sistem pendidikan di dunia Islam adalah bercorak pesantren, ini dapat ditilik dari metode Imam Malik (179 H) pendiri madzhab Malikiyah dalam membangun madzhabnya di Kota Madinah Munawwaroh, dengan memakai metode pesantren beliau kembangkan madzhabnya di Madinah, begitu pula madrasah an Nidhamiyah di Nisaibur yang dianggap sebagai cikal bakal sistem pendidikan madrasi di dunia Islam, pola pendidikan yang dipakai adalah pola pesantren, hal itu bisa kaji dari sosok al Juwaini (478 H) sebagai seorang pengasuh atau kiai dan salah satu santri hasil didikannya al Ghozali (520 H).

Begitu pula di negeri Syam as Syarif (Syria) di abad pertengahan hijriyah kita mengenal madrasah Darul Hadist yang telah berhasil mencetak ulama-ulama agung di zamannya, dimana keagungannya tersebut masih bisa disaksikan lewat kebesaran sosok an Nawawi (676 H) salah satu ulama hasil cetakan lembaga pendidikan ini, dengan maha karya-karyanya yang masih relevan dan eksis sebagai referensi utama dalam kazanah keilmuan Islam. Setelah penulis lihat sendiri tradisi-tradisi pengajian kitab kuning yang masih eksis hingga saat ini di sudut-sudut masjid kota Damaskus dan menyaksikan bangunan peninggalan madrasah Darul Hadist juga berziarah ke ma'had-ma'had syar'i yang ada sekarang, bahwasanya pola pendidikan pesantren begitu kental dan mengakar kuat dalam sistem pendidikan Islam di negeri Syam dari dulu hingga sekarang.

Menyingkap dunia pesantren dan menatap wajah Islam di Indonesian ibarat menatap salah satu sisi mata uang logam atau dalam kiasan lain dikatakan setali tiga uang, hal tersebut didasarkan pada kontek peranan dunia pesantren dalam membangun wajah Islam di Indonesia yangt tidak bisa diabaikan begitu saja peranannya, kerena basis utama pengembangan Islam di Indonesia adalah pondok pesantren.

Dalam penyebaran Islam pertama kali di tanah air Indonesia kita mengenal pesantren Ampel Denta yang dianggap sebagai pesantren pertama di Indonesia yang terletak di sudut kota Surabaya dengan pengasuh sekaligus pendirinya Raden Rahmat yang bergelar Sunan Ampel, salah satu para dai Islam pertama kali di Indonesia. Melalui media pesantren Ampel Dentanya beliau berhasil mencetak dai-dai generasi selanjutnya seperti Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat dan dari murid-murid para da'i-da'i Islam pertama ini terpancarlah cahaya Islam di nusantara.

Dimasa selanjutnya muncul sosok kiai karismatik Jawa yang masyhur di daerah Tegal Sari, Jetis, Ponorogo Jawa Timur; Kiai Hasan Besari begitu panggilan kebesarannya. Diatas sepetak tanah yang ia miliki dirikan masjid dan barak-barak yang di peruntukkan bagi santri jauh untuk penginapan. Dengan ketinggian ilmunya dibarengi dengan keihlasan dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam, ia berhasil mencetak kader-kader ulama yang mumpuni dalam meneruskan penyebaran agama Islam sehingga Islam tidak pernah pudar dari bumi Indonesia bahkan semakin mengakar kokoh di sanubari bangsa Indonesia walaupun dalam masanya para penjajah sudah menancapkan kukunya di tanah Jawa.

Setelah terjadi persentuhan intelektual antara ulama di Indonesia dengan para ulama Timur Tengah di penghujung kurun abad 20, pesantren sebagi basic intelektual Islam di Indonesia semakin nyata-nyata memainkan peranan dalam membentuk wajah Islam di Indonesia. Sosok-sosok seperti Syeikh Nawawi Banten, Syeikh Mahfudz Turmusi, Mbah Kholil Bangkalan, KH Hasyim Asy'ari, dan ulama-ulama lainnya adalah tokoh-tokoh penghujung abad 20 dari kalangan pesantren yang telah memoles wajah Islam di Indonesia dan dipenghujung abad 20 ini juga babak intelektual Islam Indonesia dimulai.

Menyibak differensiasi wajah Islam di Indonesia dalam tataran dunia global, peran pesantren begitu besar dalam memoles Islam Indonesia yang bersifat kaffah (universal), ramah, santun, yang sesuai dengan karakter asli bangsa Indonesia. Juga seirama dengan prinsip dasar Islam yang "Rahmatan lil alamin." Dengan semangat tawazun, tasamuh dan tawasuth, perbedaan-perbedaan pemahaman baik dalam pemahaman aqidah maupun diskursus yurisprudensi Islam (fiqih) dapat dilihat sebagai perbedaan yang bersifat rahmah. Differensiasi karakteristik tersebut akan tampak, bila kita melihat fenomena yang sedang terjadi di Timur Tengah, tidak jarang perbedaan-perbedaan (ihktilaf) pemahaman yang menimbulkan pertumpahan darah, seperti konflik Sunni Syiah di Iraq sekarang ini, atau kasus majlis-takfir di Mesir yang banyak menelan korban cendekiawan-cendekiawan Mesir.
Sebagai penutup dari tulisan ini, tidak lah berlebihan jika para pemerhati Islam di barat memprediksikan bahwa kebangkitan Islam akan dimulai dari Indonesia. Kita semua berharap prediksi tersebut menjadi kenyataan.

Penulis adalah Katib Syuriah PCI NU Syria dan Tamatan Fak. Syariah Univesitas Damaskus Syria.

Pesantren Dan Wajah Islam Indonesia

Lembaga pendidikan Pondok Pesantren salah satu dari sekian sistem pendidikan yang ada di Indonesia dengan cirinya yang has dan unik, juga dianggap sebagai sistem pendididkan paling tua di Indonesia yang telah diakui kualitasnya dari segi kemampuannya dalam mencetak kader-kader bangsa yang handal dan mumpuni, baik dalam bidang agama sebagaimana lazimnya atau dalam pentas kepemimpinan nasional, juga dalam bidang kebudayaan dan kazanah intelektual.

Menilik asal muasal keberadaan pesantren di Indonesia, sebagian kalangan ahli mengasumsikan bahwa pesantren adalah pola pendidikan Islam yang di adopsi dari pola pendidikan jaman sebelum kedatangan Islam yang di kenal dengan istilah cantrik yang kemudian diIslamisasi oleh para dai'-dai' Islam di awal kedatangannya.

Menurut pandangan penulis asumsi tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Hal tersebut bila bisa di telusuri lewat komparasi kedua sistem tersebut dimana materi pengajaran dalam cantrik lebih mengedepankan pola pelatihan fisik yang dalam istilah kunanya dinamakan ilmu kanuragan, Sedangkan materi yang diajarkan dalam pesantren pada umumnya lebih bersifat ilmu pengetahuan keagamaan. Komparasi ini memberi gambaran yang tegas adanya perbedaan yang mencolok antara pola pendidikan cantrik dan pola pendididkan pesantren.

Bukti lainnya, dalam dunia Islam, kita bisa menjumpai sistem pendidikan pesantren di berbagai negara Islam sebagaimana di negeri kita; seperti di Yaman dengan Darul Mustofanya, atau di Saudi Arabia dengan Rubatnya ataupun di negeri Syria tempat penulis menimba ilmu yang bertaburan ma'had-ma'had syar'i, juga di negara-negara Islam lainnya. Hal tersebut memupuskan asumsi bahwa pesantren adalah budaya tradisional Indonesia yang mengalami Islamisasi, disisi lain juga membuktikan bahwa pesantren merupakan bagaian dari budaya Islam yang telah mengalami pribumisasi ketika masuk ke Indonesia.

Setelah penelusuran awal timbul pertanyaan; bernarkah pola pendidikan pesantren merupakan bagian dari budaya Islam?

Pengembangan wacana pesantren sebagai bagian dari budaya Islam akan bisa mencapai titik terang bila kita ambil pola-pola dasar pendidikan pesantren. Sebagaimana sudah diadakan penelitian pola dasar pesantren terdiri dari tiga unsur utama yaitu; kiai, santri dan masjid. Ketiga pola dasar tersebut -kalau kita mengupas kembali sejarah penyeberan Islam pertama kali di tanah Arab- adalah metode dakwah marhalah kedua Nabi Muhammad Saw di kota Madinah. Hal tesebut bisa di baca dari aktivitas dakwah beliau dengan memakai masjid sebagai pusat semua aktivitas baik dari segi ubudiyah seperti shalat berjamaah bersama-sama para sahabatnya atau tempat penyampaian kuliyah umum (khotbah Jum'at) di setiap hari Jum'at serta aktivitas-aktivitas lainya yang hampir keseluruhan berada di masjid. Jadi dapat dibuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren adalah bagian dari kebudayaan Islam dan keberadaannya sudah ada semenjak pertama kali Islam diturunkan.

Untuk menelusuri lebih dalam tentang fenomena pola pesantren sebagai bagian dari budaya Islam bisa dikaji lewat sejarah peradaban Islam, dimana hampir semua sistem pendidikan di dunia Islam adalah bercorak pesantren, ini dapat ditilik dari metode Imam Malik (179 H) pendiri madzhab Malikiyah dalam membangun madzhabnya di Kota Madinah Munawwaroh, dengan memakai metode pesantren beliau kembangkan madzhabnya di Madinah, begitu pula madrasah an Nidhamiyah di Nisaibur yang dianggap sebagai cikal bakal sistem pendidikan madrasi di dunia Islam, pola pendidikan yang dipakai adalah pola pesantren, hal itu bisa kaji dari sosok al Juwaini (478 H) sebagai seorang pengasuh atau kiai dan salah satu santri hasil didikannya al Ghozali (520 H).

Begitu pula di negeri Syam as Syarif (Syria) di abad pertengahan hijriyah kita mengenal madrasah Darul Hadist yang telah berhasil mencetak ulama-ulama agung di zamannya, dimana keagungannya tersebut masih bisa disaksikan lewat kebesaran sosok an Nawawi (676 H) salah satu ulama hasil cetakan lembaga pendidikan ini, dengan maha karya-karyanya yang masih relevan dan eksis sebagai referensi utama dalam kazanah keilmuan Islam. Setelah penulis lihat sendiri tradisi-tradisi pengajian kitab kuning yang masih eksis hingga saat ini di sudut-sudut masjid kota Damaskus dan menyaksikan bangunan peninggalan madrasah Darul Hadist juga berziarah ke ma'had-ma'had syar'i yang ada sekarang, bahwasanya pola pendidikan pesantren begitu kental dan mengakar kuat dalam sistem pendidikan Islam di negeri Syam dari dulu hingga sekarang.

Menyingkap dunia pesantren dan menatap wajah Islam di Indonesian ibarat menatap salah satu sisi mata uang logam atau dalam kiasan lain dikatakan setali tiga uang, hal tersebut didasarkan pada kontek peranan dunia pesantren dalam membangun wajah Islam di Indonesia yangt tidak bisa diabaikan begitu saja peranannya, kerena basis utama pengembangan Islam di Indonesia adalah pondok pesantren.

Dalam penyebaran Islam pertama kali di tanah air Indonesia kita mengenal pesantren Ampel Denta yang dianggap sebagai pesantren pertama di Indonesia yang terletak di sudut kota Surabaya dengan pengasuh sekaligus pendirinya Raden Rahmat yang bergelar Sunan Ampel, salah satu para dai Islam pertama kali di Indonesia. Melalui media pesantren Ampel Dentanya beliau berhasil mencetak dai-dai generasi selanjutnya seperti Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat dan dari murid-murid para da'i-da'i Islam pertama ini terpancarlah cahaya Islam di nusantara.

Dimasa selanjutnya muncul sosok kiai karismatik Jawa yang masyhur di daerah Tegal Sari, Jetis, Ponorogo Jawa Timur; Kiai Hasan Besari begitu panggilan kebesarannya. Diatas sepetak tanah yang ia miliki dirikan masjid dan barak-barak yang di peruntukkan bagi santri jauh untuk penginapan. Dengan ketinggian ilmunya dibarengi dengan keihlasan dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam, ia berhasil mencetak kader-kader ulama yang mumpuni dalam meneruskan penyebaran agama Islam sehingga Islam tidak pernah pudar dari bumi Indonesia bahkan semakin mengakar kokoh di sanubari bangsa Indonesia walaupun dalam masanya para penjajah sudah menancapkan kukunya di tanah Jawa.

Setelah terjadi persentuhan intelektual antara ulama di Indonesia dengan para ulama Timur Tengah di penghujung kurun abad 20, pesantren sebagi basic intelektual Islam di Indonesia semakin nyata-nyata memainkan peranan dalam membentuk wajah Islam di Indonesia. Sosok-sosok seperti Syeikh Nawawi Banten, Syeikh Mahfudz Turmusi, Mbah Kholil Bangkalan, KH Hasyim Asy'ari, dan ulama-ulama lainnya adalah tokoh-tokoh penghujung abad 20 dari kalangan pesantren yang telah memoles wajah Islam di Indonesia dan dipenghujung abad 20 ini juga babak intelektual Islam Indonesia dimulai.

Menyibak differensiasi wajah Islam di Indonesia dalam tataran dunia global, peran pesantren begitu besar dalam memoles Islam Indonesia yang bersifat kaffah (universal), ramah, santun, yang sesuai dengan karakter asli bangsa Indonesia. Juga seirama dengan prinsip dasar Islam yang "Rahmatan lil alamin." Dengan semangat tawazun, tasamuh dan tawasuth, perbedaan-perbedaan pemahaman baik dalam pemahaman aqidah maupun diskursus yurisprudensi Islam (fiqih) dapat dilihat sebagai perbedaan yang bersifat rahmah. Differensiasi karakteristik tersebut akan tampak, bila kita melihat fenomena yang sedang terjadi di Timur Tengah, tidak jarang perbedaan-perbedaan (ihktilaf) pemahaman yang menimbulkan pertumpahan darah, seperti konflik Sunni Syiah di Iraq sekarang ini, atau kasus majlis-takfir di Mesir yang banyak menelan korban cendekiawan-cendekiawan Mesir.
Sebagai penutup dari tulisan ini, tidak lah berlebihan jika para pemerhati Islam di barat memprediksikan bahwa kebangkitan Islam akan dimulai dari Indonesia. Kita semua berharap prediksi tersebut menjadi kenyataan.

Penulis adalah Katib Syuriah PCI NU Syria dan Tamatan Fak. Syariah Univesitas Damaskus Syria.

Arah Kiblat Dari Indonesia

Makkah 21o25’ LU 39o50’ BT menjadi kiblat bagi ahlul ardli termasuk Indonesia.

Arah kiblat dari Indonesia ke Makkah : ke barat laut dengan ukuran derajat bervariasi sesuai dengan letak tiap kawasan pada garis lintang dan garis bujur. Contoh :

Kawasan lintang utara :

1. Sabang 05o54’ LU 095o21’ BT : 21o56’08” AQ
2. Banda Aceh 05o35’ LU 095o20’ BT : 22o08’13” AQ
3. Medan 03o38’ LU 098o38’ BT : 22o44’46” AQ
4. Pekanbaru 00o36’ LU 101o14’ BT : 23o46’18” AQ
5. Sambas 01o18’ LU 109o18’ BT : 22o18’19” AQ
6. Tarakan 03o18’ LU 117o35’ BT : 21o12’59” AQ
7. Gorontalo 00o34’ LU 123o05’ BT : 21o29’37” AQ
8. Manado 01o33’ LU 124o53’ BT : 21o21’58” AQ



Kawasan katulistiwa :

Pontianak 00o00’ katulistiwa 109o22’ BT : 22o44’37” AQ



Kawasan lintang selatan :

1. Padang 00o57’ LS 100o21’ BT : 24o41’51” AQ
2. Jambi 01o36’ LS 103o38’ BT : 24o15’42” AQ
3. Palembang 02o59’ LS 104o47’ BT : 25o36’33” AQ
4. Bandar Lampung 05o25’ LS 105o17’ BT : 25o17’11” AQ
5. Serang 06o08’ LS 106o09’ BT : 25o18’03” AQ
6. Tangerang 06o12’ LS 106o38’ BT : 25o11’55” AQ
7. Jakarta 06o10’ LS 106o49’ BT : 25o08’31” AQ
8. Pelabuhanratu 07o01’ LS 106o03’ BT : 25o36’23” AQ
9. Bandung 06o57’ LS 107o34’ BT : 25o11’10” AQ
10. Yogyakarta 07o48’ LS 110o21’ BT : 24o42’46” AQ
11. Semarang 07o00’ LS 110o24’ BT : 24o30’17” AQ
12. Surabaya 07o15’ LS 112o45’ BT : 24o01’45” AQ
13. Palangkaraya 02o16’ LS 113o56’ BT : 22o43’23” AQ
14. Banjarmasin 03o22’ LS 114o40’ BT : 22o51’38” AQ
15. Samarinda 00o28’ LS 117o11’ BT : 21o59’21” AQ
16. Ujungpandang 05o08’ LS 119o27’ BT : 22o28’04” AQ
17. Kendari 03o57’ LS 122o35’ BT : 21o57’36” AQ
18. Denpasar 08o37’ LS 115o13’ BT : 23o44’32” AQ
19. Mataram 08o36’ LS 116o08’ BT : 23o32’22” AQ
20. Kupang 10o12’ LS 123o35’ BT : 22o10’57” AQ
21. Ambon 03o42’ LS 128o14’ BT : 21o28’23” AQ
22. Fakfak 03o52’ LS 132o20’ BT : 21o14’40” AQ
23. Jayapura 02o28’ LS 140o38’ BT : 22o09’12” AQ
24. Sorong 00o50’ LS 131o15’ BT : 21o24’10” AQ
25. Merauke 08o30’ LS 140o27’ BT : 20o09’06” AQ



Isu tentang adanya pergeseran arah qiblat dari sebagian besar masjid di Indonesia akibat gempa masih harus dibuktikan dengan penelitian yang seksama secara ilmiah melibatkan sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu, termasuk ahli hisab-fiqh. Masjid-masjid yang arah qiblatnya tidak tepat pada umumnya disebabkan oleh kurang cermatnya dalam mengukur arah qiblat sejak awal mula memulai pembangunan masjid. Masjid-masjid yang sejak awal mula ketika memulai pembangunan sudah didasarkan pada pengukuran arah qiblat yang benar, ternyata hingga sekarang masih tetap standar.



Posisi Arah Barat Indonesia



A. Garis lintang 0o dari Pontianak ke barat melewati Kepri, Riau, Sumatera Barat, Samudra Hindia sampai ke Somalia selatan, tepatnya di utara kota Kismayu.



B. Semua daerah Indonesia yang berada di Lintang Utara dan beberapa daerah yang berada di Lintang Selatan bila ditarik garis ke barat akan bertemu dengan negara Somalia. Beberapa wilayah Indonesia tersebut yaitu :

Wilayah lintang utara :

1. Sabang
2. Banda Aceh
3. Medan
4. Pekanbaru
5. Sambas
6. Tarakan
7. Samarinda
8. Gorontalo
9. Manado

Wilayah lintang selatan :

1. Padang
2. Jambi
3. Palangkaraya
4. Sorong
5. Jayapura



C. Daerah Indonesia yang berada di Lintang Selatan bila ditarik garis ke barat ada dua kemungkinan, yaitu bertemu dengan negara Kenya dan negara Tanzania. Daerah-daerah yang bertemu dengan negara Kenya yaitu :

1. Palembang
2. Banjarmasin
3. Kendari
4. Ambon
5. Fakfak



Daerah-daerah yang bertemu dengan negara Tanzania :

1. Bandar Lampung
2. Serang
3. Tangerang
4. Jakarta
5. Pelabuhanratu
6. Bandung
7. Yogyakarta
8. Semarang
9. Surabaya
10. Ujungpandang
11. Denpasar
12. Mataram
13. Kupang
14. Merauke


KH A. Ghazalie Masroeri
Ketua Lajnah Falakiyah PBNU

Reaktulisasi Kitab Kuning

Sejalan dengan maraknya modernisasi, penistaan kitab kuning semakin menjadi-jadi; dikatakan sebagai tidak sistematis, kuno, kolot. Bahkan ada yang berusaha mendegradasi kitab kuning melalui survei gegabah yang dilakukan IAIN Jakarta bahwa kitab kuning menjadi sumber teroris. Gencarnya propaganda modernisasi itu tidak membuat kalanagan NU dan pesantren sendiri mulai menafikan kitab kuning, yang merupakan khazanah intelaktual mereka sendiri yang tak tertandingi.

Hadirnya situs kitab kuning yang dikelola oleh PCI NU Jepang itu memberikan nuansa baru bagi para pembaca kitab kuning. Kitab kuning mamasuki dunia cyber, yang merupakan dunia ultra modern. Dengan demikian berbagai kitab yang disajikan mulai dari Ulumul Qur’an, ilmu tafsir, musthalah hadists, fikih, tasawuf bisa dibuka siapa saja bahakan bisa dibedol (down load ) secara gratis. Kemudahan yang diberikan situs ini, sebab seseorang yang ingin membaca kitab tertentu tinggal membuka situs ini, tidak harus memunjam di perpustakaan, dipesantren atau pada kiai tertentu.

Walaupun dikatakan nusang tetapi kitab kuning sangat penting, sesuai dengan perkembanagn ilmu pengetahuan yang bersifat histories, maka kitab kuning itu merupakan perkembangan histories dari ilmu pengetahuan, yang merupakan bentuk interpretasi, kontekstualisasi ajaran Islam yang termaktub dalam Al Quran dan Sunnah, yang dilakukan oleh ulama sepanjang abad dan di seluruh belahan dunia Islam. Karena itu dalam ukuran NU seseorang tidak mungkin mendapat gelar ulama atau kiai tanpa menguasai kitab dasar tersebut yang serintg disebut kutubul muktabarah (kitab yang otoritatif), buku wajib bagi santri dan ulama pesantren.

Memang beberapa tahun lalu muncul gugatan terhadap status kemuktabarahan kitab kuning, karana dianggap menutup akses terhadap kitab modern. Itu tidak benar, kitab kuning merupakan kitab pokok yang harus dikuasasi, baru setelah itu boleh menguasai kitab putih sebagai kitab anjuran. Kalau dikampus boleh menetapkan buku wajib dan buku penunjang, kenapa dalam khazanah pesantren tidak boleh membuat kategori tersebut. Kalanagan pesantren memiliki pengetahuan lebih komprehensif tentang agama, karena mereka mengetahui perkembangan ajaran agama. Bagi mereka yang tidak mengetahui perkembangan tersebut cenderung cupet pemikiran dan fanatik.

Pengabaian ktab kuning memang bisa berakibat tragis, ketika masih banyak ulama pesantren, maka gerakan Islam modernis masih melahirkan ulama, maka ketika kelompok Islam itu benar-benar membuang kitab kuning maka kelompok itu tidak memiliki ulama, sehingga pengetahuannya tentang agama menjadi sangat dangkal. Bahkan hampir tidak bisa dikatakan sebagai ornganisasi Islam karena organisasi tanpa dipimpin rohaniawan, akhirnya menjadi organisasi sosial biasa.

Namun demikian sajian dalam situs itu masih perlu terus diperluas, dalam situs itu misalnya belum menyajikan kitab-kitab bidang ushuluddin dan filsafat. Kitab-kitab babon Imam Al Asy’ari seperti Al Ibanah, Al Luma, juga Maqalatul Islamiyin mesti dimasukkan, juga karya Asyariyah yang lain seperti Al Farqu Bainal Firaq maupun Kitab tauhidnya Al Mathuridi, termasuk karya Imam Hanafi Fiqhul Akbar, juga karya perbandingan agama Al Milal Wannihal karya Syahrastani dan sebagainya. Selain itu situs itu juga hanya menyajikan kitab yang dikarang oleh ulama Timur Tengah, sementara kalangan ulama Jawi (Nusantara) belum dimasukkan, seperti kitab Sabilul Muhtadin karya Syek Irsyad Al Banjari, Sirajut Tholobin dan Manahijul Imdad karya Kiai Ihsan Kediri dan Hidayatussalikin karya Syekh Abdushomad Al Palimbangi, juga karya-karya Syekh Nawawi Al Bantani.

Begitu pula disiplin ilmu faraid, ilmu falak termasuk ilmu kedokteran. Para ulama kita juga mendalami bidang tersebut, termasuk bidang sastra dan bahasa. Semua khazanah itu perlu diperkenalkan bertahap secara utuh.

Sajian tersebut juga bisa dilanjutkan pada kaitab ulama yang datang kemudian, seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Bisri Mustofa juga beberapa ulama di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Kitab tersebut merupakan kitab yang hidup dalam arti terus dikaji dan dijadikan pedoman dalam beragama oleh masyarakat. Kitab tersebut tidak hanya memberikan kedalaman dalam beragam, tetapi juga memberikan keluasan dalam memandang kehidupan dan ketinggian moral.

Melihat kenyataan itu tidak benar kalau dikatan bahwa pemikiran Islam tradisional mengalami kemandekan bila diukur dari perkembangan masyarakat Islam sendiri. Tetapi kalau ditakar dengan model pencerahan barat yang liberal, tentu pemikiran pesantren dianggap mengalami kemunduran, propaganda itu yang harus ditepis. Dan kawan-kawan NU di Jepang telah melakukan penepisan itu dengan menempatkan kitab kuning dalam wacana ilmu pengetahuan kontemporer, yanga kalau diuji secara materi belum tentu kalah bermutu dengan pemikiran modern.

Memang kita mesti belajar pada bangsa-bangsa di timur dalam mengembangkan kebudayaan, seperti Cina, India termasuk Jepang mereka menerima modernitas tetapi tidak membuang tradisi, justeru dengan berbasis tradisi itu modernitas yang dtan

Akar Tradisi Ahlus Sunnah

Tidak ada organiasasi yang begitu keras kalimnya terhadap Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) seperti NU, karena itu NU menjadi organisasi Aswaja terkemuka. Aswaja merupakan sebuah falsafah hidup yang membentuk sistem keyakinan, metode pemikiran dan tata-nilai. Dengan cakupan itu, Aswaja menjadi sangat luas dan menyeluruh, sehingga bisa disebut sebagai way of life (cara hidup) sebagaimana Islam itu sendiri.

Meskipun Aswaja meliputi persoalan dasar keyakinan dan petunjuk kehidupan, tetapi sering kali kalangan awam hanya melihat dari segi cabangnya saja, seperti pelaksanaan doa, qunut, tahlil, ziarah kubur, perayaan nishfu sya’ban, mengamalkan tarekat dan sebagainya. Amaliyah furu’iyah ini yang mengedepan dalam Aswaja, sehingga sering menjadi perdebatan. Kalangan Islam moderrnis yang berafiliasi Wahabi menuduh amalan tersebut sebagai bid’ah, khurafat dan sebagainya.

Selama ratusan tahun hingga saat ini, kelompok Islam modernis dengan segala variannya mencoba menggusur tradisi Aswaja tersebut. Walaupun gempuran tersebut sangat gencar, tetapi yang terjadi sebaliknya, tradisi amaliyah Aswaja tersebut bahkan semakin meluas diamalkan oleh masyarakat. Tentu saja amaliyah tersebut susah dimusnahkan, karena akar-akar amalan tersebut tidak hanya tertanam dalam ajaran Islam sebagaimana yang diyakini oleh para penganut Aswaja, tetapi juga tertancap ke dalam bumi tradisi.

Mengamalkan ajaran Aswaja tidak hanya diniati sebagai sebuah ajaran agama, tetapi sekaligus juga dipahami sebagai mengamalkan tradisi dan budaya. Karena itu siapa yang tidak mengamalkan ajaran tersebut dianggap tidak mengenal tradisi dan tidak memiliki kebudayaan, bahkan dianggap tidak memiliki tatakrama dan kesopanan, sehingga bisa dianggap tidak beradab bagi pelanggarnya.

Sebagai contoh, melakukan tahlil bagi orang yang meninggal, walaupun oleh kalangan modernis-Wahabi dianggap bid’ah, tetapi orang tidak peduli dengan tuduhan tersebut. Tidak hanya kalangan Nahdlatul Ulama, kalangan orang awam, bahkan yang dalam kategori abangan atau setengah sekular merasa harus menjalankan amalan tersebut.

Meninggalnya Mbah Surip dan Dramawan terkemuka WS Rendra misalnya, secara spontan sebagaimana diajarkan tradisi, mereka menyelenggarakan tahlil, yang dihadiri oleh sanak saudara, handai taulan dan kawan. Bahkan novelis anggota Lekra Pramoedya Ananta Toer yang dianggap tidak beragama lagi secara formal, ketika meninggal malah diselenggarakan tahlilan untuk mendoakan arwahnya.

Hal itu menunjukkan bahwa ketika agama telah diletakkan dalam ranah tradisi maka akan menjadi sangat kokoh, karena itu Islam mengajarkan bahwa al-‘aadah (tradisi) merupakan bagian dari hukum. Tradisi itulah yang akan menjaga dan mengembangkannya. Oleh karena itu, para wali dan ulama dahulu ketika menyiarkan Islam dilakukan melalui sarana tradisi dan budaya setempat, sehingga agama yang diajarkan benar-benar diresapi sebagi sarana hidup dan akan hidup sejauh ada kehidupan itu sendiri.

Hal itu yang tidak disadari oleh kelompok modernis Wahabi, sehingga serangannya yang menghabiskan tenaga selama ratusan tahun sejak zaman kaum Paderi di Sumatera Barat, tidak berhenti hingga saat ini. Sebaliknya tidak sedikit akhirnya mereka yang mengikuti amaliyah Ahlussunnah wal Jamaah ini. Adat dan tradisi akan selalu diikuti oleh orang tanpa dapat dibendung, mereka akan mengikuti tradisi dan adat sesuai perkembangan konteks zamannya sendiri.

Memang banyak jalan yang bisa ditempuh dalam taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Pelaksanaan berbagai macam amalan tersebut merupakan bagian dari ubudiyah dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Upaya yang sungguh-sungguh dan sepenuh hati disertai kerinduan yang abadi kepada Sang Pencipta itulah yang mendorong mereka mengamalkan berbagai bentuk ibadah, untuk ber-taqorrub, mencari keteduhan dan kedamaian dari-Nya.
Setiap menjelang puasa, orang berduyun-duyun menjalankan ritual Nishfu Sya’ban secara khusyuk. Ubudiyah tersebut juga tidak semata memiliki nilai ukhrawi, tetapi juga memiliki dimensi duniawi, untuk menjalin keakraban dan pergaulan sesama manusia sebagai sudara dan sebagai tetangga. Dengan keakraban tersebut relasi sosial yang erat terjadi sehingga terjadilah integrasi sosial yang mengikat mereka dalam satu tata nilai, saling menjaga, saling memberi dan saling melindungi.

Inilah dimensi sosial dari amaliyah ubudiyah tadi, sehingga secara secara sosiologis amaliyah tersebut juga memiliki nilai. Karena telah menjadi sebuah tata-nilai social, maka ajaran tersebut sulit dicerabut dan dihancurkan, karena akarnya telah masuk dalam tradisi dan budaya setempat, ajaran agama menjadi kokoh ketika beradaptasi dan menyatu dengan tradisi. (Abdul Mun’im DZ)

Do'a,Bacaan Al-Qur'an,Shodaqoh Dan Tahlil u/ orang yg meninggal

Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى

“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi MUhammad SAW:

اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”

Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.

وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ

“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ

“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).

Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.

Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.

Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.

Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:

عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ

“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”

Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

KH Nuril Huda
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Shalat Qoblyyah Dan Ba'diyyah Jum'at

Para ulama sepakat bahwa shalat sunnat yang di lakukan setelah shalat jum'at adalah sunnah dan termasuk rawatib ba'diyah Jum'at. seperti yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Bukhari:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعاً

”Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Jika salah seorang di antara kalian shalat jum’at hendaklah shalat empat raka’at setelahnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan shalat sunnah sebelum shalat Jum'at terdapat dua kemungkinan. Pertama, shalat sunnah mutlak, hukumnya sunnah. Waktu pelaksanannya berakhir pada saat imam memulai khutbah.

Kedua, shalat sunnah qabliyyah Jum'at. Para ulama berbeda pendapat tentang shalat sunnah qabliyyah Juma’at. Pertama, shalat qabliyyah Jum’ah dianjurkan untuk dilaksanakan (sunnah). Pendapat ini di kemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Syafi'iyyah (menurut pendapat yang dalilnya lebih tegas) dan pendapat Hanabilah dalam riwayat yang tidak masyhur. Kedua, shalat qabliyyah Jum’at tidak disunnahkan menurut pendapat Imam Malik, sebagian Hanabilah dalam riwayat yang masyhur

Adapun dalil yang menyatakan dianjurkannya sholat sunnah qabliyah Jum'at: Hadist Rasulullah SAW

مَا صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانٍ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِاللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ "مَا مِنْ صَلاَةٍ مَفْرُوْضَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ

"Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua rakaat". (HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shohih dari hadist Abdullah Bin Zubair). Hadist ini secara umum menerangkan adanya shalat sunnah qabliyah tanpa terkecuali shalat Jum'at.

Hadist Rasulullah SAW

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ سُلَيْكٌ الغَطَفَانِيُّ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيْءَ؟ قاَلَ لاَ. قَالَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيْهِمَا. سنن ابن ماجه

"Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al Ghathafani datang (ke masjid), sedangkan Rasulullah saw sedang berkhuthbah. Lalu Nabi SAW bertanya: Apakah kamu sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi SAW bersabda: Shalatlah dua raka’at dan ringankan saja (jangan membaca surat panjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah: 1104).

Berdasar dalil-dalin tersebut, Imam al Nawawi menegaskan dalam kitab al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab:

فَرْعٌ فِيْ سُنَّةِ الجُمْعَةِ بَعْدَهَا وَقَبْلَهَا. تُسَنُّ قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا صَلاَةٌ وَأَقَلُّهَا رَكْعَتَانِ قَبْلَهَا وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهَا. وَالأَكْمَلُ أَرْبَعٌ قَبْلَهَا وَأَرْبَعٌ بَعْدَهَا
“(Cabang). Menerangkan tentang sunnah shalat Jum’at sebelumnya dan sesudahnya. Disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’at. Paling sedikit dua raka’at sebelum dan sesudah shalat jum’at. Namun yang paling sempurna adalah shalat sunnah empat raka’at sebelum dan sesudah shalat Jum’at”. (Al Majmu’, Juz 4: 9)

Adapun Dalil yang menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum'at adalah sbb.:

Hadist dari Saib Bin Yazid: "Pada awalnya, adzan jum'at dilakukan pada saat imam berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Ustman menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam Bukhori menambah adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqamat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim).

Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat, "Ketika Nabi keluar dari rumahnya langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi SAW langsung berkhutbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan khutbah, lantas kapan Nabi SAW dan jama’ah itu melaksanakan shalat sunnat qabliyah Jum'at?

Dari dua pendapat dan dalilnya diatas jelas bahwa pendapat kedua adalah interpretasi dari tidak shalatnya Nabi SAW sebelum naik ke mimbar untuk membaca khuthbah. Sedangkan pendapat pertama berlandaskan dalil yang sudah sharih (argumen tegas dan jelas). Maka pendapat pertama yang mensunnahkan shalat qabliyyah jum’ah tentu lebih kuat dan lebih unggul (rajih).

Permasalahan ini semua adalah khilafiyah furu'iyyah (perbedaan dalam cabang hukum agama) maka tidak boleh menyudutkan di antara dua pendapat di atas. Dalam kaidah fiqh mengatakan “la yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkaru al- mujma' alaih” (Seseorang boleh mengikuti salah satu pendapat yang diperselisihkan ulama dan tidak boleh mencegahnya untuk melakukan hal itu, kecuali permasalahan yang telah disepakati). Wallahua’lam bish shawab


HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

Masalah Hadist Dha'if Dalam 'Ibadah

Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadits berfungsi menjelaskan, mengukuhkan serta 'melengkapi' firman Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di antara berbagai macam hadits itu, ada istilah Hadits Dha'f.

Dalam pengamalannya, terjadi silang pendapat di antara ulama. Sebagian kalangan ada yang tidak membenarkan untuk mengamalkan Hadts Dha'if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadits tersebut bukan dari Nabi Muhammad SAW. Lalu apakah sebenarnya yang disebut Hadits Dha'if itu? Benarkah kita tidak boleh mengamalkan Hadits Dha'if?

Secara umum Hadits itu ada tiga macam. Pertama, Hadits Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits) yang bersambung ke Rasulullah SAW, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz (menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, aqidah dan lainnya.

Kedua, Hadits Hasan, yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah Hadits Shahih, karena para periwayat hadits ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi Hadits Shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadits Shahih.

Ketiga, Hadits Dha'if, yakni hadits yang bukan Shahih dan juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi Hadits Hasan.

Hadits Dha'if ini terbagi menjadi dua. Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha'if-annya. Hadits semacam ini disebut Hadits Hasan li Ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar'i. Kedua, hadits yang tetap dalam ke-dha'if-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq.

Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa Hadits Dha'if hanya dapat diberlakukan dalam fada'ilul a’mal, yakni setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni hadits-hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman Allah SWT).

Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma' di kalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan Hadits Dha'if jika berkaitan dengan fadha'ilul a'mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat Al-Qur' an, serta akidah, maka apa yang termaktub dalam hadits tersebut tidak dapat dijadikan pedoman. Sebagaimana yang disitir oleh Sayyid 'Alawi al-Maliki dalam kitabnya Majmu' Fatawi wa Rasa'il:

"Para ulama ahli Hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits Dha'if dapat dijadikan pedoman dalam masalah fadha'il al-a’mal. Di antara ulama yang mengatakannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, dan Sufyan, al-Anbari serta ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata: Apabila kami meriwayatkan (Hadfts) menyangkut perkara halal ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan Hadfts tentang fadha'il al-a’mal, maka kami melonggarkannya". (Majmu' Fatawi wa Rasa'il, 251)

Namun begitu, kebolehan ini harus memenuhi tiga syarat. Pertama, bukan hadits yang sangat dha'if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya.

Kedua, masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-­kaidah yang universal. Dengan kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan Hadits Dha'if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath atau berhati-hati dalam masalah agama.

Maka, dapat kita ketahui, bahwa kita tidak serta merta menolak Hadits Dha'if. Dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas.


KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember
Lihat lebih lengkapnya dalam karya penulis “Fiqih Tradisionalis” terbitan BAYAN

Makna Istighotsah

Kata “istighotsah” استغاثة berasal dari “al-ghouts”الغوث yang berarti pertolongan. Dalam tata bahasa Arab kalimat yang mengikuti pola (wazan) "istaf’ala" استفعل atau "istif'al" menunjukkan arti pemintaan atau pemohonan. Maka istighotsah berarti meminta pertolongan. Seperti kata ghufron غفران yang berarti ampunan ketika diikutkan pola istif'al menjadi istighfar استغفار yang berarti memohon ampunan.

Jadi istighotsah berarti "thalabul ghouts" طلب الغوث atau meminta pertolongan. Para ulama membedakan antara istghotsah dengan "istianah" استعانة, meskipun secara kebahasaan makna keduanya kurang lebih sama. Karena isti'anah juga pola istif'al dari kata "al-aun" العون yang berarti "thalabul aun" طلب العون yang juga berarti meminta pertolongan.

Istighotsah adalah meminta pertolongan ketika keadaan sukar dan sulit. Sedangkan Isti'anah maknanya meminta pertolongan dengan arti yang lebih luas dan umum.

Baik Istighotsah maupun Isti'anah terdapat di dalam nushushusy syari'ah atau teks-teks Al-Qur'an atau hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam surat Al-Anfal ayat 9 disebutkan:

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ

"(Ingatlah wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu lalu Dia mengabulkan permohonanmu." (QS Al-Anfal:9)

Ayat ini menjelaskan peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW memohon bantuan dari Allah SWT, saat itu beliau berada di tengah berkecamuknya perang badar dimana kekuatan musuh tiga kali lipat lebih besar dari pasukan Islam. Kemudian Allah mengabulkan permohonan Nabi dengan memberi bantuan pasukan tambahan berupa seribu pasukan malaikat.

Dalam surat Al-Ahqaf ayat 17 juga disebutkan;

وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ

"Kedua orang tua memohon pertolongan kepada Allah." (QS Al-Ahqaf:17)

Yang dalam hal ini adalah memohon pertolongan Allah atas kedurhakaan sang anak dan keengganannya meyakini hari kebangkitan, dan tidak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh keduanya untuk menyadarkan sang anak kecuali memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dari kedua cuplikan ayat ini barangkali dapat disimpulkan bahwa istighotsah adalah memohon pertolongan dari Allah SWT untuk terwujudnya sebuah "keajaiban" atau sesuatu yang paling tidak dianggap tidak mudah untuk diwujudkan.

Istighotsah sebenamya sama dengan berdoa akan tetapi bila disebutkan kata istighotsah konotasinya lebih dari sekedar berdoa, karena yang dimohon dalam istighotsah adalah bukan hal yang biasa biasa saja. Oleh karena itu, istighotsah sering dilakukan secara kolektif dan biasanya dimulai dengan wirid-wirid tertentu, terutama istighfar, sehingga Allah SWT berkenan mengabulkan permohonan itu.

Istighotsah juga disebutkan dalam hadits Nabi,di antaranya :

إنَّ الشَّمْسَ تَدْنُوْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ, فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوْسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ


Matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, sehingga keringat sebagian orang keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada pada kondisi seperti itu mereka beristighotsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad. (H.R.al Bukhari).

Hadits ini juga merupakan dalil dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa seorang nabi atau wali adalah sebab. Terbukti ketika manusia di padang mahsyar terkena terik panasnya sinar Matahari mereka meminta tolong kepada para Nabi. Kenapa mereka tidak berdoa kepada Allah saja dan tidak perlu mendatangi para nabi tersebut? Seandainya perbuatan ini adalah syirik niscaya mereka tidak melakukan hal itu dan jelas tidak ada dalam ajaran Islam suatu perbuatan yang dianggap syirik.

Sedangkan isti'anah terdapat di dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ

“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS Al-Baqarah: 45)


KH A. Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Hukum Menggerak-gerakan jari ketika tasyahud akhir

Berikut ini diketengahkan ulasan lain tentang menggerakkan telunjuk pada saat tahiyat, seperti yang pernah dibahas sebelumnya. (redaksi)

Jika kita perhatikan, saat duduk tasyahhud dalam shalat memang tidak semua orang menggerakkan jari telunjuk dengan cara yang sama. Ini semata-mata karena perbedaan ulama dalam memahami hadits. Perbedaan ini terjadi sejak zaman tabi’in dan ulama mazhab. Perbedaan ini tidak menyebabkan tidak sahnya shalat dan tidak pula menyebabkan kesesatan, karena perbedaannya dalam hal furu’iyah yang masing-masing mempunyai dalil hadits Rasulullah SAW.

Adapun hadits yang dipahami berbeda-beda oleh ulama adalah hadits Rasulullah saw.:

عن ابن عمر رضي الله عنهما: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم اِذَاَ قَعَدَ لِلتَّشَهُّدِ وَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلىَ رُكْبَتِهِ وَاليُمْنَى عَلىَ اليُمْنىَ, وَعَقَدَ ثَلاَثاً وَخَمْسِيْنَ وَأَشَارَ بِإِصْبِعِهِ السَّباَبَةِ --رواه مسلم


Dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW jika duduk untuk tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya, dan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan membentuk angka “lima puluh tiga”, dan memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuknya” (HR Muslim).

Yang dimaksud dengan “membentuk angka lima puluh tiga” ialah suatu isyarah dari cara menggenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah disebut angka tiga, dan menjadikan ibu jari berada di atas jari tengah dan di bawah jari telunjuk.

Adapun penyebab terjadinya perbedaan ulama tentang cara isyarah dengan jari telunjuk saat tasyahhud apakah digerakkan atau diam saja dan kapan waktunya adalah karena ada hadits yang sama denga di atas dengan tambahan teks (matan) dari riwayat lain, yaitu hadits yang diceritakan dari Sahabat Wail RA:

ثُمَّ رَفَعَ اصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهاَ يَدْعُوْ --رواه أحمد

”..... Kemudian beliau mengangkat jarinya sehingga aku melihatnya beliau menggerak-gerakkanya sambil membaca doa.” (HR: Ahmad).

Sedangkan hadits yang diriwayatk dari Ibn Zubair RA:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ يَشِيْرُ بِإِصْبِعِهِ إِذَاَ دَعَا لاَ يُحَرِّكُهَا --رواه أبو داود والنسائي

“Bahwa Nabi SAW memberi isyarat (menunjuk) dengan jarinya jika dia berdoa dan tidak menggerakkannya. (HR Abu Daud dan Al Nasai)

Dari Hadits tersebut Imam Mazhab fiqh sepakat bahwa meletakkan dua tangan di atas kedua lutut pada saat tasyahhud hukumnya adalah sunnah. Namun juga para imam mazhab berbeda pendapat dalam hal menggenggam jari-jari dan berisyarat dengan jari telunjuk (Alawi Abbas al Maliki, Ibanahtul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, Indonesia: al Haramain, Juz 1, h. 435-437. Dan lihat pula Al Juzayri, Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah, Beirut: Darul Fikr, 1424 H. Juz 1, h. 227-228).

1. Menurut ulama mazhab Hanafi, mengangkat jari telunjuk dilakukan pada saat membaca lafadz “Laa Ilaaha”, kemudian meletakkannya kembali pada saat membaca lafadz “illallah” untuk menunjukan bahwa mengakat jari telunjuk itu menegaskan tidak ada Tuhan dan meletakkan jari telunjuk itu menetapkan ke-Esa-an Allah. Artinya, mengangkat jari artinya tidak ada Tuhan yang berhak disembah dan meletakkan jari telunjuk untuk menetapkan ke-Esa-an Allah.

2. Menurut ulama mazhab Maliki, pada saat Tasyahhud tangan kanan semua jari digenggam kecuali jari telunjuk dan ibu jari di bawahnya lepas. kemudian menggerak-gerakkan secara seimbang jari telunjuk ke kanan dan ke kiri

3. Menurut ulama mazhab Syafi’i, mengenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah. Kemudian memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuk sekali saja saat kalimat “illallah” (الا الله) diucapkan:

4.Menurut mazhab Hambali, mengenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah dengan ibu jari. kemudian memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuk saat kalimat “Allah” ( الله) diucapkan ketika tasyahhud dan doa

5. Pendapat Syeikh Al-Albani. (Lihat kitab Sifat Shalat Nabi halaman 140). bahwa menggerakkan jari dilakukan sepanjang membaca lafadz Tasyahhud.
Imam al-Baihaqi menyatakan:

وَقَالَ البَيْهَقِيْ: يَحْتملُ أَنْ يَكُوْنَ مُرَادُهُ بِالتَحْرِيْكِ الإِشَارَةُ حَتَّى لاَيُعَارِضَ حَدِيْثَ ابْنِ الزُبَيْر

Kemungkinan maksud hadits yang menyatakan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan saat tasyahhud adalah isyarat (menunjuk), bukan mengulang-ulang gerakkannya, agar tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair yang menyatakan tidak digerakkannya jari telunjuk tersebut. Hikmah memberi isyarah dengan satu jari telunjuk ialah untuk menunjukkan ke-Esa-an Allah dan karena jari telunjuk yang menyambung ke hati sehingga lebih mendatangkan kekhusyu’an.

H M. Cholil Nafis
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU

Penjelasan Bid'ah Tarawih yg dilaksanakan Sahabat Umar

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa shalat malam pada bulan Ramadhan itu diperintahkan berdasarkan sabda Nabi SAW:

عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه رواه البخاري

Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-Bukhari)

Nabi SAW melakukan shalat itu di rumahnya, hanya saja beliau shalat itu di masjid berjamaah pada beberapa malam saja. Dalam hadit yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim,

عن عائشة رضى الله عنها, إن النبي صلي الله عليه وسلم صلى في المسجد فصلى بصلاته ناس, ثم صلى الثاينة فكثر الناس, ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله صلعم, فلما أصبح قال: رأيت الذي صنعتم فلم يمنعنى من الخروج إليكم إلا أنى خشيت أن تفترض عليكم وذلك في رمضان. رواه البخارى)

bahwa Nabi SAW pernah shalat di masjid lalu diikuti oleh orang-orang banyak, kemudian shalat pada malam kedua lalu makin banyak para sahabat yang ikut shalat, kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat. Tetapi Nabi SAW tidak keluar kepada mereka. Setelah pagi hari beliau bersabda, “Saya tahu apa yang kalian perbuat, tapi yang mencegah aku keluar kepada kalian hanyalah karena aku khawatir akan menjadi kewajiban bagi kalian”. Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan.

Dari uraian terdahulu kita tahu bahwa sunnah nabi dalam melaksanakan shalat Ramadhan ada dua macam:

a. Shalat di rumah sendirian, ini yang beliau biasakan
b. Shalat di masjid berjama’ah beberapa malam, hanya saja beliau meninggalkan yang akhir ini karena khawatir menjadi wajib bagi umatnya. Adapun bilangan rakaat shalat Nabi Muhammad Saw itu 11 rakaat dengan berdiri lama bacaan surahnya panjang atau 13 rakaat dengan dua rakaat ringan.

Sebagian ahli fiqh mengatakan, “Kemungkinan Nabi Muhammad Saw dan para shahabatnya menyempurnakan 20 rakaat di rumah masing-masing”. Namun kemungkinan semacam ini jauh karena tidak disandarkan kepada dalil.

Anjuran Umar ra.

Khalifah Umar bin Khottob r.a masuk ke masjid, lalu melihat para shahabat berpencar-pencar berkelompok. Ada yang shalat sendirian dan ada yang shalat menjadi imam dari kelompoknya. Lalu Sayyidina Umar r.a berkata, “Menurut saya, seandainya mereka berkumpul dari satu pandangan tentu lebih baik”. Lalu ia berhasrat untuk mengumpulkan mereka di bawah Imam Ubay bin Ka’ab.

Setelah dia melihat mereka pada malam lain melaksanakan shalat malam dalam berjama’ah, Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah bid’ah seperti ini”. Maka dimana mereka tidur lebih baik daripada malam dimana mereka shalat, yakni akhir malam sedangkan orang-orang lain shalat di awalnya.” (Riwayat al-Bukhari).

Maksudnya dinamakan bid’ah itu karena bentuk shalat, waktunya dan ketetapannya – bahkan bilangannya tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan tidak diperintahkannya secara langsung, walaupun beliau pernah shalat malam berjama’ah beberapa malam.

Maka anjuran Umar ra adalah perintah kepada publik umat untuk shalat malam Ramadhan di masjid secara berjama’ah pada awal malam. Ibnu al-Tin dan lainnya berkata, “Umar menetapkan hukum itu dari pengakuan Nabi Saw terhadap orang yang shalat bersama beliau pada malam-malam tersebut, walaupun beliau tidak senang hal itu bagi mereka, karena tidak senangnya itu lantaran khawatir menjadi kewajiban bagi mereka.

Tetapi setelah Nabi Saw wafat maka dinilai aman dari rasa khawatir tersebut dan hal itu menjadi pegangan bagi Umar, karena perbedaan dan menimbulkan perpecahan umat, dan karena persatuan akan lebih mempergiat banyak para umat yang menjalankan shalat.

KH Muhaimin Zen
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH)

Bahaya Paham Liberalisme

Paham liberal baik dalam konteks agama, ekonomi maupun sosial akan merusak moralitas dan akhlak bangsa Indonesia.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ittihadul Muballigin atau Persatuan Muballig se-Indonesia, Prof KH Syukron Makmun, Ahad (26/9) kemarin di Bogor mengatakan, paham liberal kurang sesuai dengan akar budaya bangsa Indonesia.

"Paham liberal tidak sejalan dengan akar budaya bangsa Indonesia," kata Prof KH Syukron Makmun, Minggu di Bogor.

Prof KH Syukron Makmun yang juga pengasuh Pesantren Daarul Rahman Jakarta pada Minggu menghadiri halal bihalal yang digagas komunitas alumni Pesantren Daarul Rahman yang berdomisili di Kabupaten Bogor dan sekitarnya.

Kegiatan tersebut dipusatkan di Pesantren Daarul Rahman III Parung, Bogor, yang diikuti 300 alumni dari berbagai daerah di Tanah Air.

Lebih lanjut dikatakan Syukron Makmun,bangsa Indonesia harus berhati-hati dengan gejala perkembangan paham liberal yang masuk dari berbagai lini dengan berbagai cara dan modus. "Paham tersebut tidak sesuai dengan akar budaya bangsa Indonesia, yang menjunjung tinggi akhlak mulia," ujar dia.

Oleh karena itu, Syukron Makmun yang juga mantan ketua Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PP LDNU) PBNU mengajak agar umat Islam dan bangsa Indonesia lebih berhati-hati dengan gejala tersebut.

"Liberalisme harus memiliki batasan, karena Indonesia merupakan bangsa yang berbasis pada moralitas dan etika," ungkapnya.

Pembina komunitas alumni Daarul Rahman Bogor yang juga Pengasuh Pesantren Daarul Mughni Al-Maaliki Klapanunggal, Kabupaten Bogor, KH Mustof Mughni menambahkan, paham liberal berpoteni mencabut bangsa Indonesia dari akar budayanya.

"Paham liberal akan menggiring bangsa Indonesia pada krisis identitas," tuturnya.

Oleh karena itu, santri dan alumni pesantren memiliki tanggungjawab dalam membentengi masyarakat dari paham liberal dan berbagai paham yang kurang sejalan dengan moralitas bangsa.

"Pesantren hadir dan terlahir sebagai benteng moral umat. Saat ini pesantren menghadapi tantangan besar seiring dengan munculnya berbagai tantangan baik dari dalam maupun luar negeri," paparnya.